Refleksi Seorang yang Bukan Insinyur di Tengah Sistem yang Sangat Serius

"Kita hidup dalam sistem—dan seringkali, sistem itu sangat rumit. Tapi manusia—dengan pikirannya—masih punya ruang untuk bernapas, meskipun sempit. Dan saya memilih untuk bernapas lewat cara saya sendiri."

Sebagai seseorang yang terlibat dalam dunia teknis, saya terbiasa dengan angka. Tapi saya belajar, tidak semua kebenaran bisa diringkas dalam digit. Tidak semua pemahaman harus linier.

Dunia teknis bukan hanya ruang logika—ia juga bisa menjadi ruang kontemplatif. Saya bisa merasakannya saat berdiri di depan monitor DCS, dengan desingan mesin yang menembus pintu dan jendela. Di sana, saya menyaksikan flowrate argon yang hanya setitik dibanding nitrogen—tapi justru itulah yang paling jujur menggambarkan jalannya proses.

Saya percaya, pemahaman sejati harus bekerja di semua kondisi. Kalau masih banyak syarat dan ketentuan, berarti masih ada hal yang belum kita pahami. Itulah sebabnya saya sering mengingatkan diri:

"Pemahaman bukan sekadar hafalan prosedur. Pemahaman adalah kemampuan menghadapi anomali dengan logis dan kepala tegak."


Pelajaran dari Lelaki yang Tidak Selalu Benar, Tapi Selalu Saya Hormati

Dulu Ayah saya berkata:

"Bagaimanapun situasinya, cari cara agar kepalamu tetap tegak."

Itu bukan sekadar nasihat moral. Bagi saya, itu adalah pondasi bersikap dalam setiap analisis dan keputusan yang bertanggungjawab dan terhormat.

Bahkan saat saya menang taruhan kecil, lalu uangnya dilempar ke sawah, saya belajar bahwa tidak semua hasil pantas disimpan. Bahwa niat dan cara jauh lebih penting daripada sekadar hasil. Bahwa martabat kadang harus dibangun dari sebuah keputusan yang berat.


Filter, Ripple, dan Ketulusan

Saat berhadapan dengan transmitter, flowmeter, atau DCS, saya belajar: filter analog bisa menghaluskan ripple, tapi terlalu banyak smoothing membuat sinyal menjadi tangga. Terlalu rapi—seperti ingin menenangkan semua orang—tapi malah kehilangan kebenaran.

Sama halnya dengan laporan. Terlalu rapi bisa jadi menutupi realitas.

Maka saya tambahkan sedikit humor. Sedikit kontemplasi. Karena kita bukan sekadar operator data—kita adalah manusia yang merasa dan berpikir.


Di Tengah Sistem yang Penuh Hierarki

Saya sadar, gaya ini mungkin terasa asing di ruang-ruang penuh struktur. Tapi saya tidak menulis untuk menyenangkan semua orang. Saya menulis untuk menyelaraskan pikiran dan nilai.

Untuk mengingatkan bahwa:

Leadership bukan tentang menjadi "yang paling tahu", tapi tentang menghidupkan arah.
Dengan komunikasi yang jernih, dan keberanian mengambil tanggung jawab jika tidak ada yang melakukannya.

Kalau hari ini saya bicara soal teknis sambil menyelipkan filosofi, itu bukan karena ingin tampil beda atau nyeleneh. Tapi karena saya sadar, integritas tidak dibangun dari hasil—melainkan dari cara berpikir logis dan berinteraksi. Dari bagaimana kita menjelaskan konsep ke operator. Dari bagaimana kita membalas pesan rekan kerja. Dari bagaimana kita tetap menghargai orang yang bahkan tidak kita sukai. Dan keberhasilan organisasi jauh lebih penting daripada keberhasilan pribadi-pribadi di dalamnya.

Selalu ada ruang untuk mempertimbangkan ulang, untuk menyempurnakan, atau sekadar membuka kembali wacana yang dianggap selesai. Justru di situlah ruang hidup bagi pemahaman yang sejati. Dan kalau ada yang bertanya, “Apakah semua yang saya tulis ini sudah benar?”—jawabannya: belum tentu. Tapi itulah gunanya ruang berpikir. Saya lebih nyaman hidup dalam kemungkinan yang terbuka, daripada terjebak dalam kesimpulan yang prematur.

Dalam dunia teknik, kita sering cepat menjawab—tapi lambat mendengarkan. Kita piawai menyusun angka, tapi kerap canggung menyusun kata. Padahal, merawat bahasa bukan sekadar soal estetika—tapi soal akurasi makna dan kejujuran komunikasi. Mungkin ini waktu yang tepat untuk menumbuhkan sebuah gaya baru: technocratic narrative—gaya yang menjembatani presisi teknis dan kejujuran manusiawi


Technocratic Narrative Style: Menjembatani Teknik dan Kemanusiaan

Dalam dunia teknik, kita terbiasa menyusun argumen seperti menyusun wiring diagram: jelas, logis, dan presisi. Tapi manusia tidak hidup dari logika saja. Di ruang kontrol, di ruang rapat, bahkan di ruang pikiran kita sendiri, selalu ada keraguan, intuisi, dan pertimbangan nilai.

Dan di situlah lahir sebuah pendekatan komunikasi yang tidak hanya menjelaskan, tapi juga menyentuh. Kita menyebutnya:

Technocratic Narrative Style
Gaya komunikasi teknis yang memadukan keakuratan data, kedalaman nilai, dan kehangatan narasi.
Ia menjadikan setiap penjelasan bukan hanya masuk akal, tapi juga masuk hati.

Mengapa Gaya Ini Muncul?

Karena sistem terlalu kaku.
Karena data tidak selalu cukup.
Karena komunikasi di dunia teknik sering gagal bukan karena salah data—tapi karena kurang rasa.

Gaya ini lahir dari kebutuhan untuk berkomunikasi secara utuh: agar laporan bukan sekadar formalitas, presentasi bukan sekadar slide, dan diskusi bukan sekadar debat menang-menangan.

Inti dari Technocratic Narrative Style

1. Ketegasan Teknis

  • Tetap berpijak pada data dan fakta.
  • Tidak mengorbankan akurasi demi dramatisasi.

2. Refleksi Filosofis

  • Menyisipkan renungan di balik angka.
  • Mengajak berpikir lebih dalam, bukan hanya lebih cepat.

3. Kedekatan Emosional

  • Menghargai konteks manusia: operator, rekan kerja, bahkan diri sendiri.
  • Menghindari jargon saat tak perlu, memilih metafora yang menghubungkan.

Gaya Komunikasi Saya sebagai Contoh

Beberapa prinsip khas dalam komunikasi saya yang kini saya pahami sebagai bagian dari pendekatan ini:

  • Nilai mendahului hasil.
    Seperti kisah "uang dilempar ke sawah"—keputusan etis lebih penting daripada hasil teknis.

  • Grafik tidak boleh menipu rasa.
    Filter analog boleh menghaluskan sinyal, tapi jangan sampai menipu kenyataan.

  • Laporan harus jujur, bukan hanya rapi.

  • Keberanian tidak selalu berarti paling tahu, tapi paling siap bertanggung jawab.

Apa Gunanya Gaya Ini?

  • Memperkuat leadership di dunia teknik yang sering terlalu kaku.
  • Menjembatani tim teknis dan non-teknis.
  • Menjadikan komunikasi sebagai alat perubahan budaya kerja—bukan hanya alat transfer informasi.

Apa Itu?

Bukan aliran. Ia bukan ajaran baru.
Ia hanyalah gaya berpikir dari seseorang yang dibesarkan oleh Ayah yang melarang berkata kasar—tapi membolehkan benturan fisik kalau memang tidak ada jalan lain.
Asal kamu tahu bahwa kamu benar.

Itu bukan anjuran menjadi keras. Itu pelajaran tentang martabat—bahwa menjaga kepala tetap tegak tidak harus membuat orang lain menunduk. Mengabaikan nilai orang lain, atau menganulir pencapaiannya, tidak akan pernah membuat kita menjadi lebih besar. Justru sebaliknya, martabat tumbuh saat kita mampu menghargai tanpa harus sepakat, dan mengakui tanpa merasa terancam.

Martabat yang tetap utuh meski dikelilingi alarm, tekanan kerja, dan sistem yang tak selalu masuk akal.

Dan kalau hari ini saya bisa tetap berpikir jernih di tengah sistem yang bising, itu karena dulu saya pernah diajarkan: diam yang jujur lebih penting daripada menang yang salah.

Oleh lelaki yang tak selalu benar, tapi selalu saya hormati.

Dunia teknik butuh lebih banyak manusia yang tidak kehilangan rasa. Bukan untuk menjadi lembek, tapi untuk menjadi lentur. Bukan untuk melemahkan presisi, tapi untuk menguatkan empati.

Saya tidak mengklaim bahwa ini gaya terbaik. Tapi saya percaya, gaya ini bisa ditumbuhkan. Ia dimulai dari kebiasaan bertanya sebelum menilai, dari latihan mendengar sebelum merumuskan solusi. Dan dari keberanian untuk tetap manusiawi, bahkan saat sedang memegang tanggung jawab teknis yang berat.


Tidak Ada yang Mutlak Benar

Saya tidak menulis sebagai orang yang paling tahu. Bahkan, saya tidak tahu apakah ini akan dianggap penting. Tapi saya menulis karena saya percaya bahwa ada cara lain menyampaikan hal teknis—tanpa kehilangan nurani, tanpa mematikan rasa.

Saya tahu tulisan ini tidak akan menjawab semua pertanyaan. Bahkan bisa jadi akan memunculkan pertanyaan baru—dan itu baik. Karena ruang berpikir yang sehat bukan tentang mengunci pendapat, tapi membuka percakapan. Dan saya percaya, selama kita masih mau bertanya dengan jujur, kita sedang berjalan ke arah yang tepat.

Mungkin gaya ini bukan untuk semua orang. Tapi jika satu-dua orang merasa tercerahkan atau tergerak untuk mulai bicara lebih jujur, lebih hangat, lebih manusiawi—maka tulisan ini sudah cukup.


Catatan Penulis

Tulisan ini merupakan refleksi pribadi saya. Setiap nilai, perenungan, dan nuansa di dalamnya berasal dari perjalanan saya sendiri.

Saya tidak selalu benar. Bahkan, sering kali saya menulis untuk menguji cara berpikir saya sendiri, menguji konsistensi. Karena itu, saya terbuka untuk koreksi, untuk diskusi, dan untuk melihat bahwa mungkin ada jalan lain yang lebih baik. Ini bukan kesimpulan—melainkan undangan berpikir bersama.

Kiranya bisa menjadi inspirasi ringan bagi siapa pun yang juga mencoba berpikir jernih di tengah sistem yang rumit, serius, dan cenderung kaku. Kalau ada satu hal yang saya harap bisa tersampaikan dari tulisan ini, itu adalah:
Bahwa menjadi teknisi yang manusiawi bukan kelemahan—itu kekuatan yang jarang dimiliki atau mungkin sulit untuk dimiliki.