Pelajaran dari Ayah: Kepala Tetap Tegak
"Bagaimanapun situasinya, cari cara agar kepalamu tetap tegak."
— Ayah
Tidak semua pelajaran hidup saya dapat dari sekolah. Bahkan sebagian yang paling berharga justru datang dari rumah—dari seorang lelaki gagah saat berkacamata hitam dengan jaket militernya: Ayah saya.
Beliau kadang banyak bicara, kadang diam saja tapi memperhatikan dengan seksama. Namun setiap ucapannya selalu punya makna. Pernah suatu kali saat saya terlihat terlalu rajin belajar di rumah, Ayah bertanya dengan nada serius,
"Apa waktu belajarmu di sekolah kurang?"
Saya tertegun. Tapi itu bukan kritik tanpa makna. Itu dorongan agar saya menggunakan waktu seefisien mungkin: belajar dengan fokus saat di sekolah, mengulang sebentar sepulang sekolah saat materi masih segar, dan setelah itu? Bermainlah.
Kebiasaan itu membentuk cara saya bekerja hingga hari ini: fokus, efisien, dan tetap memberi ruang untuk bernapas.
Saya juga masih ingat momen saat saya dipergoki menang bermain dadu. Hadiahnya uang. Tapi Ayah mengambil uang itu dan melemparkannya ke sawah.
Tidak ada bentakan, hanya tindakan:
"Tidak semua kemenangan layak disimpan. Tidak semua hasil perlu dirayakan."
Dari situ saya belajar bahwa ada nilai yang lebih besar dari sekadar menang—yakni kemurnian niat dan cara.
Dan satu lagi yang tak pernah saya lupa: Ayah melarang keras berbicara kasar kepada siapapun. Itu bukan hanya nasihat, tapi perintah. Saya bisa dihukum jika melanggarnya. Dari situlah saya belajar bahwa menjaga lisan adalah bentuk paling nyata dari penghormatan terhadap sesama. Bahwa keberanian bukan soal bicara keras, tapi soal menyampaikan pendapat dengan cara yang elegan.
Tapi ada satu pengecualian yang beliau tanamkan kuat: "Kalau terpaksa harus terjadi benturan fisik, ambillah. Tapi hanya jika tidak ada lagi cara lain, dan kamu yakin kamu benar." Itu bukan ajaran untuk jadi bengal. Itu pelajaran tentang keberanian menjaga martabat. Tentang prinsip yang tidak boleh dijual meski harus menanggung resiko. Tentang tetap tenang, tapi jangan membiarkan nilai diinjak-injak.
Ayah bukan sosok sempurna. Tapi dari beliau saya belajar banyak tentang disiplin, integritas, dan ketegasan tanpa perlu kasar. Tentang tahu waktu, tahu tempat, dan tahu kapan harus berhenti. Tentang tidak menyusahkan orang lain hanya karena kita sedang menginginkan sesuatu.
Hari ini, ketika saya memimpin tim atau mengambil keputusan sulit, saya tidak pernah benar-benar sendirian. Ada jejak-jejak Ayah yang menuntun. Tidak selalu jelas, kadang hanya berupa kebiasaan lama yang diam-diam melekat. Tapi nyata.
Kalau hari ini saya masih bisa berdiri dengan kepala tegak, itu karena saya pernah diajarkan caranya.
Terima kasih, Ayah.
Di mana pun engkau sekarang, semoga bangga melihat anakmu berjalan sesuai nilai-nilai yang kau tanamkan.
Penutup:
Karena saya percaya, warisan terbaik dari seorang Ayah bukanlah harta, tapi cara hidup. Dan saya akan terus hidup dengan kepala tegak — bukan karena tak pernah kalah, tapi karena tahu caranya bangkit dengan hormat.
Catatan penulis:
Tulisan ini saya persembahkan untuk Ayah saya—dan untuk semua Ayah yang mungkin tidak sempurna, tapi tetap berusaha menjadi kompas yang diam-diam menuntun anak-anaknya ke arah yang benar.